Selasa, 16 Juni 2009

IN HOUSE TRAINING SURVEILANS FAKTOR RISIKO PENYAKIT BBTKL PPM YOGYAKARTA TANGGAL 27 – 30 MEI 2009





Surveilans adalah pengamatan terus-menerus terhadap terjadinya dan penyebaran penyakit serta kejadian/kondisi yang memperbesar risiko penyebaran penyakit. Surveilans epidemiologi adalah serangkaian kegiatan yang teratur dan terus menerus dimulai dari:pengumpulan, pengolahan, penyajian dan analisis data serta penyebarluasan informasi untuk penentuan tindakan.

Beban ganda penyakit menular saat ini tidak hanya meliputi penyakit-penyakit yang tergolong dalam New dan Re-emerging Disease tetapi juga Emerging Disease yang masih belum tuntas penanggulangannya. Kejadian sakit tidak semata-mata karena daya tahan tubuh dan kerentanan terhadap kuman penyebab penyakit tetapi ada factor risiko yang mempengaruhi, baik perilaku maupun lingkungan. Faktor risiko biasanya tidak berdiri sendiri tetapi bersifat multi factorial. BBTKL-PPM Yogyakarta mempunyai peran dalam deteksi dini dan intervensi terhadap factor risiko kejadian penyakit melalui surveilans factor risiko.

Tujuan yang ingin dicapai adalah meningkatkan pengetahuan, kemampuan tentang penyakit menular dan faktor risikonya, meningkatkan kemampuan dalam melaksanakan surveilans faktor risiko, dan meningkatkan kemampuan untuk deteksi dini bagi sumber daya manusia di BBTKL-PPM Yogyakarta.

Kegiatan ini diselenggarakan pada tanggal 27 – 30 Mei 2009 di Hotel University Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai peserta adalah pegawai BBTKL-PPM Yogyakarta berjumlah 30 orang yang terdiri dari para praktisi laboratorium dan tenaga fungsional yang mempunyai dasar pendidikan yang bervariasi. Dari Bidang Surveilans Epidemiologi sebanyak 4 orang, Bidang PTL sebanyak 24 orang, dan dari Bagian Tata Usaha sebanyak 2 orang.

Materi In House Training berjumlah 32 Jam Pelajaran (JPL), dengan masing-masing JPL berdurasi 45 menit. Materi tersebut terdiri dari :

1. Materi Dasar:

a. Kebijakan Program Surveilans Epidemiologi (DR. Hari Santoso, SKM, M.Epid – Kadit SEPIM Kesma Ditjen PP&PL Depkes RI, 2 JPL)

b. Kebijakan Program P2MK Dinas Kesehatan Propinsi Jateng (Dr. Djoko Mardijanto, M.Kes – Ka. Bid P2PL Dinkes Prop. Jateng, 2 JPL)

c. Kebijakan Program P2MK Dinas Kesehatan Propinsi DIY (Rubiyo, SKM, M.Si – Staf Sie Surveilans & Imunisasi Dinkes Prop. DIY, 2 JPL)

2. Materi Inti:

a. Dasar-dasar Epidemiologi (dr.Rossi Sanusi,MPA.PhD – Dosen FETP Prodi Kesehatan Masyarakat FK UGM, 2 JPL)

b. Dasar-dasar Surveilans Epidemiologi (dr.Haripurnomo Kushadiwijaya.,MPH.,DrPH – Dosen FETP Prodi Kesehatan Masyarakat FK UGM, 2 JPL)

c. Sistem Kewaspadaan Dini dr. Haripurnomo Kushadiwijaya.,MPH.,DrPH – Dosen FETP Prodi Kesehatan Masyarakat FK UGM, 4 JPL)

d. Metode Penelitian Epidemiologi (Drg. Dibyo Pramono, SU, MDSc - Dosen FETP Prodi Kesehatan Masyarakat FK UGM, 2 JPL)

e. Penyelidikan dan Penanggulangan KLB (dr.Haripurnomo Kushadiwijaya.,MPH.,DrPH – Dosen FETP Prodi Kesehatan Masyarakat FK UGM, 4 JPL)

f. Surveilans Faktor Risiko (dr.Rossi Sanusi,MPA.PhD – Dosen FETP Prodi Kesehatan Masyarakat FK UGM, 2 JPL)

g. Surveilans Berbasis Laboratorium (Dr.Andajani Woerjandari,M.Kes. – Ka. BP4 Prop. DIY, 2 JPL)

3. Meteri Pendukung:

a. Praktek Studi Kasus Kejadian KLB (Widyana, SKM, M.Kes – Widya Iswara Bapelkes Kalasan Yogyakarta, 2 JPL)

b. Presentasi Hasil Surveilans Penanganan KLB (Kelompok Peserta, 2 JPL)

Rangkuman hasil In House Training antara lain:

In House Training diisi dengan penyajian materi yang dilanjutkan dengan tanya jawab, diskusi kelompok, dan presentasi hasil diskusi. Secara keseluruhan tingkat respon peserta sangat tinggi yang ditunjukkan dengan antusias peserta dalam mengikuti materi, bertanya kepada narasumber dan diskusi kelompok sesuai dengan studi kasus yang dibebankan.

Dari segi ketertiban dan partisipasi peserta sangat bagus, peserta cukup aktif dalam setiap session materi, tanya jawab dan diskusi. Dari segi kedisplinan peserta cukup bagus, tepat waktu dan semua peserta mengikuti keseluruhan materi seperti yang telah ditentukan. Narasumber selalu tepat waktu, beberapa materi bahkan kekurangan waktu untuk diskusi dan tanya jawab.

Semoga dengan adanya kegiatan In House Training ini dapat menambah wawasan pengetahuan bagi sumber daya manusia di BBTKL PPM Yogyakarta dalam bidang Surveilans Faktor Risiko Penyakit.

Senin, 15 Juni 2009

RESUME INVESTIGASI KASUS LEPTOSPIROSIS DI KECAMATAN PRAMBANAN, KABUPATEN SLEMAN YOGYAKARTA TANGGAL 11 JUNI 2009

A. Latar Belakang:

Berdasarkan informasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, di wilayah Kecamatan Prambanan telah ditemukan kasus Pertama Leptospirosis konfirmasi laboratorium positif Leptospira meninggal dunia pada tanggal 27 Mei 2009. Dalam perkembangannya ditemukan juga kasus kedua Leptospirosis konfirmasi laboratorium positif Leptospira, yang masih dirawat di Puskesmas Prambanan sejak tanggal 9 Juni 2009. Dengan dasar informasi tersebut, tim BBTKL-PPM Yogyakarta bersama dengan tim Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman melakukan investigasi langsung di lokasi kejadian.

B. Waktu dan Lokasi Investigasi :

Pelaksanaan Investigasi pada hari Kamis, tanggal 11 Juni 2009, di Dusun Gamparan, Desa Sumberharo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman Yogyakarta.

C. Tujuan Investigasi :
  1. Untuk mengetahui jumlah penderita Leptospirosis yang telah dilakukan pengobatan.
  2. Untuk mengetahui jumlah populasi risiko di sekitar kasus.
  3. Untuk mengetahui jumlah responden yang positif Leptospira di sekitar rumah kasus dan belum mendapatkan pengobatan.
  4. Untuk mengetahui jenis spesimen lingkungan yang positif Leptospira dengan pemeriksaan laboratorium secara kualitatif.
  5. Untuk mengetahui dugaan sementara faktor risiko pada penderita Leptospirosis.

D. Metodologi Investigasi :

Investigasi ini dilaksanakan dengan metode observasi langsung, wawancara dengan keluarga kasus, wawancara dengan responden di sekitar kasus, melakukan pemeriksaan darah responden dengan Leptotek, dan pemeriksaan laboratorium spesimen lingkungan.

E. Hasil Investigasi :
1. Data Demografi Dusun Gamparan
Jumlah KK : 143 KK
Jumlah Jiwa : 453 jiwa (Laki-laki=222. Perempuan=231).

2. Hasil wawancara dengan keluarga Kasus :
i. Kasus Pertama :
• Nama / Jenis Kelamin : Tn. Sbd / L.
• Umur : 55 tahun.
• Alamat : Dusun Gamparan, Desa Sumberharjo, Kec. Prambanan, Kab. Sleman Yogyakarta.
• Pekerjaan : Buruh bangunan.
• Kronologis sakitnya :
  • Tujuh hari sebelum sakitnya (tanggal 13 Mei 2009), penderita bekerja sebagai buruh bangunan membuat kolam ikan di rumah salah satu warga di Dusun Gamparan yang berjarak sekitar 500 meter dari rumah penderita.
  • Pada tanggal 20 Mei 2009, penderita mulai mengeluh agak meriang, mual, dan nyeri sekitar betis. Penderita tidak berobat.
  • Pada tanggal 21 Mei 2009, demam tinggi dan hanya beli obat di warung (minum Bodrex).
  • Karena gejala yang dikeluhkan tidak membaik, pada tanggal 22 Mei 2009 berobat di Puskesmas Prambanan, dengan pemeriksaan laboratorium positif Leptospira.
  • Pada tanggal 24 Mei 2009, penderita mengeluh tidak bisa kencing kemudian dirawat di Rumah Sakit Islam.
  • Pada tanggal 25 Mei 2009, penderita dirujuk dan dirawat di PKU.
  • Pada tanggal 26 Mei 2009 mulai muncul gejala kekuningan.
  • Pada tanggal 27 Mei 2009 penderita meninggal dunia.

ii. Kasus Kedua :
• Nama / Jenis Kelamin : Ny. Nhyti / P.
• Umur : 31 tahun.
• Alamat : Dusun Gamparan, Desa Sumberharjo, Kec. Prambanan, Kab. Sleman Yogyakarta.
• Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga.
• Kronologis sakitnya :
  • Satu minggu sebelum sakitnya (tanggal 2 Juni 2009), penderita membantu suaminya menanam kedelai di sawah.
  • Pada tanggal 9 Juni 2009, penderita mengeluh demam tinggi, nyeri kepala dan mual. Kemudian berobat dan dirawat di Pukesmas Prambanan. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium positif Leptospira. Pada saat investigasi tanggal 11 Juni 2009, penderita masih dirawat di Puskesmas Prambanan.

3. Hasil Pemeriksaan Rapid Test Leptospira pada 5 Responden disekitar rumah kasus :

1. Bp. Tml (32 th/L) - Tidak ada keluhan - Positif
2. Bp. Klwn (70 th/L) - Nyeri pinggang, lemas - Positif
3. Ny. Prn (45 th/P) - Pusing, nyeri pinggang, lemas - Positif
4. Bp. Sksn (30 th/L) - Didiagnosa hepatitis. - Positif.
5. Ny. Pnrh (53 th/P) - Keju-keju malam hari - Negatif.


3. Hasil pemeriksaan Laboratorium Lingkungan :

1. Air Minum Negatif
2. Kotoran binatang ternak. Negatif
3. Air selokan sekitar kasus Positif

F. Kesimpulan :
  1. Jumlah penderita Leptospirosis yang telah mendapatkan pengobatan sebanyak 2 orang, dengan 1 penderita meninggal dunia, dan 1 penderita lainnya masih dirawat inap.
  2. Populasi risiko di Dusun Gamparan, Desa Sumberharjo, kec. Prambanan, Kab. Sleman Yogyakarta sebanyak 453 orang.
  3. Dari 5 responden yang diperiksa dengan Leptotek, didapatkan 4 responden positif Leptospira dan belum mendapatkan pengobatan.
  4. Dari 3 spesimen lingkungan, hanya 1 spesimen yang positif Leptospira yaitu pada air selokan.
  5. Dugaan sementara faktor risiko yang berkontribusi untuk terjadinya Leptospirosis adalah adanya aktifitas personal yang berkaitan dengan pekerjaan dan terjadi kontak dengan Leptospira di lingkungan.
G. Saran :
  1. Berkaitan dengan sistem kewaspadaan dini, diperlukan pemeriksaan massal pada populasi risiko, dengan diprioritaskan pada warga yang beraktifitas/bekerja kontak langsung dengan lingkungan.
  2. Perlu dilakukan desinfektan lingkungan misal dengan pemberian kaporit pada air selokan.
  3. Perlu dilakukan penyuluhan tentang penyakit Leptospirosis dan pencegahannya di masyarakat.
  4. Perlu dilakukan penyuluhan PHBS di masyarakat.
(dr. Nur Subagyo HS)

Kamis, 28 Mei 2009

In House Training surveilans

Dalam rangka meningkatkan kapasitas surveilans semua staf BBTKL PPM Yogyakarta mengikuti in house training yang diselenggarakan selama empat hari mulai dari tanggal 27 s/d 30 Mei 2009 di Yogyakarta

Selasa, 12 Mei 2009

WHO : Assessing the severity of an influenza pandemic

The major determinant of the severity of an influenza pandemic, as measured by the number of cases of severe illness and deaths it causes, is the inherent virulence of the virus. However, many other factors influence the overall severity of a pandemic’s impact.

Even a pandemic virus that initially causes mild symptoms in otherwise healthy people can be disruptive, especially under the conditions of today’s highly mobile and closely interdependent societies. Moreover, the same virus that causes mild illness in one country can result in much higher morbidity and mortality in another. In addition, the inherent virulence of the virus can change over time as the pandemic goes through subsequent waves of national and international spread.

Properties of the virus

An influenza pandemic is caused by a virus that is either entirely new or has not circulated recently and widely in the human population. This creates an almost universal vulnerability to infection. While not all people ever become infected during a pandemic, nearly all people are susceptible to infection.

The occurrence of large numbers of people falling ill at or around the same time is one reason why pandemics are socially and economically disruptive, with a potential to temporarily overburden health services.

The contagiousness of the virus also influences the severity of a pandemic’s impact, as it can increase the number of people falling ill and needing care within a short timeframe in a given geographical area. On the positive side, not all parts of the world, or all parts of a country, are affected at the same time.

The contagiousness of the virus will influence the speed of spread, both within countries and internationally. This, too, can influence severity, as very rapid spread can undermine the capacity of governments and health services to cope.

Pandemics usually have a concentrated adverse impact in specific age groups. Concentrated illnesses and deaths in a young, economically productive age group will be more disruptive to societies and economies than when the very young or very old are most severely affected, as seen during epidemics of seasonal influenza.

Population vulnerability

The overall vulnerability of the population can play a major role. For example, people with underlying chronic conditions, such as cardiovascular disease, hypertension, asthma, diabetes, rheumatoid arthritis, and several others, are more likely to experience severe or lethal infections. The prevalence of these conditions, combined with other factors such as nutritional status, can influence the severity of a pandemic in a significant way.

Subsequent waves of spread

The overall severity of a pandemic is further influenced by the tendency of pandemics to encircle the globe in at least two, sometimes three, waves. For many reasons, the severity of subsequent waves can differ dramatically in some or even most countries.

A distinctive feature of influenza viruses is that mutations occur frequently and unpredictably in the eight gene segments, and especially in the haemagglutinin gene. The emergence of an inherently more virulent virus during the course of a pandemic can never be ruled out.

Different patterns of spread can also influence the severity of subsequent waves. For example, if schoolchildren are mainly affected in the first wave, the elderly can bear the brunt of illness during the second wave, with higher mortality seen because of the greater vulnerability of elderly people.

During the previous century, the 1918 pandemic began mild and returned, within six months, in a much more lethal form. The pandemic that began in 1957 started mild, and returned in a somewhat more severe form, though significantly less devastating than seen in 1918. The 1968 pandemic began relatively mild, with sporadic cases prior to the first wave, and remained mild in its second wave in most, but not all, countries.

Capacity to respond

Finally, the quality of health services influences the impact of any pandemic. The same virus that causes only mild symptoms in countries with strong health systems can be devastating in other countries where health systems are weak, supplies of medicines, including antibiotics, are limited or frequently interrupted, and hospitals are crowded, poorly equipped, and under-staffed.

Assessment of the current situation

To date, the following observations can be made, specifically about the H1N1 virus, and more generally about the vulnerability of the world population. Observations specific to H1N1 are preliminary, based on limited data in only a few countries.

The H1N1 virus strain causing the current outbreaks is a new virus that has not been seen previously in either humans or animals. Although firm conclusions cannot be reached at present, scientists anticipate that pre-existing immunity to the virus will be low or non-existent, or largely confined to older population groups.

H1N1 appears to be more contagious than seasonal influenza. The secondary attack rate of seasonal influenza ranges from 5% to 15%. Current estimates of the secondary attack rate of H1N1 range from 22% to 33%.

With the exception of the outbreak in Mexico, which is still not fully understood, the H1N1 virus tends to cause very mild illness in otherwise healthy people. Outside Mexico, nearly all cases of illness, and all deaths, have been detected in people with underlying chronic conditions.

In the two largest and best documented outbreaks to date, in Mexico and the United States of America, a younger age group has been affected than seen during seasonal epidemics of influenza. Though cases have been confirmed in all age groups, from infants to the elderly, the youth of patients with severe or lethal infections is a striking feature of these early outbreaks.

In terms of population vulnerability, the tendency of the H1N1 virus to cause more severe and lethal infections in people with underlying conditions is of particular concern.

For several reasons, the prevalence of chronic diseases has risen dramatically since 1968, when the last pandemic of the previous century occurred. The geographical distribution of these diseases, once considered the close companions of affluent societies, has likewise shifted dramatically. Today, WHO estimates that 85% of the burden of chronic diseases is now concentrated in low- and middle-income countries. In these countries, chronic diseases show an earlier average age of onset than seen in more affluent parts of the world.

In these early days of the outbreaks, some scientists speculate that the full clinical spectrum of disease caused by H1N1 will not become apparent until the virus is more widespread. This, too, could alter the current disease picture, which is overwhelmingly mild outside Mexico.

Apart from the intrinsic mutability of influenza viruses, other factors could alter the severity of current disease patterns, though in completely unknowable ways, if the virus continues to spread.

Scientists are concerned about possible changes that could take place as the virus spreads to the southern hemisphere and encounters currently circulating human viruses as the normal influenza season in that hemisphere begins.

The fact that the H5N1 avian influenza virus is firmly established in poultry in some parts of the world is another cause for concern. No one can predict how the H5N1 virus will behave under the pressure of a pandemic. At present, H5N1 is an animal virus that does not spread easily to humans and only very rarely transmits directly from one person to another.

Selasa, 05 Mei 2009

Sebagian Besar Kasus Flu Meksiko Tak Perlu Rawat Inap

JAKARTA, KOMPAS.com (Selasa Tgl 5 Mei 2009, jam 21.51 WIB)— Sebagian besar pasien flu meksiko mengalami keluhan ringan dan tidak dirawat inap di rumah sakit.

Demikian disampaikan Prof Tjandra Yoga Aditama, Dirjen Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI, di Jakarta, Selasa (5/5), kepada Kompas.com lewat surat elektronik mengutip publikasi terbaru di Physician's First Watch pada 4 Mei .

Menurut Tjandra, data terakhir, menurut WHO, sudah ada 21 negara melaporkan kasus dengan total 1.085 kasus dan 26 (2,3 persen) meninggal.

Sampai Minggu (3/5) ada 226 pasien flu meksiko H1N1 di Amerika Serikat. Dari 226 itu hanya 30 (13,2 persen) yang dirawat inap di rumah sakit. Sisanya sekitar 87 persen dapat sembuh tanpa harus masuk rumah sakit.

Angka ini tentu jauh berbeda dengan kasus flu burung, di mana 100 persen pasiennya dirawat inap di rumah sakit dengan angka kematian (CFR) sekitar 80 persen.