Selasa, 16 Juni 2009

IN HOUSE TRAINING SURVEILANS FAKTOR RISIKO PENYAKIT BBTKL PPM YOGYAKARTA TANGGAL 27 – 30 MEI 2009





Surveilans adalah pengamatan terus-menerus terhadap terjadinya dan penyebaran penyakit serta kejadian/kondisi yang memperbesar risiko penyebaran penyakit. Surveilans epidemiologi adalah serangkaian kegiatan yang teratur dan terus menerus dimulai dari:pengumpulan, pengolahan, penyajian dan analisis data serta penyebarluasan informasi untuk penentuan tindakan.

Beban ganda penyakit menular saat ini tidak hanya meliputi penyakit-penyakit yang tergolong dalam New dan Re-emerging Disease tetapi juga Emerging Disease yang masih belum tuntas penanggulangannya. Kejadian sakit tidak semata-mata karena daya tahan tubuh dan kerentanan terhadap kuman penyebab penyakit tetapi ada factor risiko yang mempengaruhi, baik perilaku maupun lingkungan. Faktor risiko biasanya tidak berdiri sendiri tetapi bersifat multi factorial. BBTKL-PPM Yogyakarta mempunyai peran dalam deteksi dini dan intervensi terhadap factor risiko kejadian penyakit melalui surveilans factor risiko.

Tujuan yang ingin dicapai adalah meningkatkan pengetahuan, kemampuan tentang penyakit menular dan faktor risikonya, meningkatkan kemampuan dalam melaksanakan surveilans faktor risiko, dan meningkatkan kemampuan untuk deteksi dini bagi sumber daya manusia di BBTKL-PPM Yogyakarta.

Kegiatan ini diselenggarakan pada tanggal 27 – 30 Mei 2009 di Hotel University Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagai peserta adalah pegawai BBTKL-PPM Yogyakarta berjumlah 30 orang yang terdiri dari para praktisi laboratorium dan tenaga fungsional yang mempunyai dasar pendidikan yang bervariasi. Dari Bidang Surveilans Epidemiologi sebanyak 4 orang, Bidang PTL sebanyak 24 orang, dan dari Bagian Tata Usaha sebanyak 2 orang.

Materi In House Training berjumlah 32 Jam Pelajaran (JPL), dengan masing-masing JPL berdurasi 45 menit. Materi tersebut terdiri dari :

1. Materi Dasar:

a. Kebijakan Program Surveilans Epidemiologi (DR. Hari Santoso, SKM, M.Epid – Kadit SEPIM Kesma Ditjen PP&PL Depkes RI, 2 JPL)

b. Kebijakan Program P2MK Dinas Kesehatan Propinsi Jateng (Dr. Djoko Mardijanto, M.Kes – Ka. Bid P2PL Dinkes Prop. Jateng, 2 JPL)

c. Kebijakan Program P2MK Dinas Kesehatan Propinsi DIY (Rubiyo, SKM, M.Si – Staf Sie Surveilans & Imunisasi Dinkes Prop. DIY, 2 JPL)

2. Materi Inti:

a. Dasar-dasar Epidemiologi (dr.Rossi Sanusi,MPA.PhD – Dosen FETP Prodi Kesehatan Masyarakat FK UGM, 2 JPL)

b. Dasar-dasar Surveilans Epidemiologi (dr.Haripurnomo Kushadiwijaya.,MPH.,DrPH – Dosen FETP Prodi Kesehatan Masyarakat FK UGM, 2 JPL)

c. Sistem Kewaspadaan Dini dr. Haripurnomo Kushadiwijaya.,MPH.,DrPH – Dosen FETP Prodi Kesehatan Masyarakat FK UGM, 4 JPL)

d. Metode Penelitian Epidemiologi (Drg. Dibyo Pramono, SU, MDSc - Dosen FETP Prodi Kesehatan Masyarakat FK UGM, 2 JPL)

e. Penyelidikan dan Penanggulangan KLB (dr.Haripurnomo Kushadiwijaya.,MPH.,DrPH – Dosen FETP Prodi Kesehatan Masyarakat FK UGM, 4 JPL)

f. Surveilans Faktor Risiko (dr.Rossi Sanusi,MPA.PhD – Dosen FETP Prodi Kesehatan Masyarakat FK UGM, 2 JPL)

g. Surveilans Berbasis Laboratorium (Dr.Andajani Woerjandari,M.Kes. – Ka. BP4 Prop. DIY, 2 JPL)

3. Meteri Pendukung:

a. Praktek Studi Kasus Kejadian KLB (Widyana, SKM, M.Kes – Widya Iswara Bapelkes Kalasan Yogyakarta, 2 JPL)

b. Presentasi Hasil Surveilans Penanganan KLB (Kelompok Peserta, 2 JPL)

Rangkuman hasil In House Training antara lain:

In House Training diisi dengan penyajian materi yang dilanjutkan dengan tanya jawab, diskusi kelompok, dan presentasi hasil diskusi. Secara keseluruhan tingkat respon peserta sangat tinggi yang ditunjukkan dengan antusias peserta dalam mengikuti materi, bertanya kepada narasumber dan diskusi kelompok sesuai dengan studi kasus yang dibebankan.

Dari segi ketertiban dan partisipasi peserta sangat bagus, peserta cukup aktif dalam setiap session materi, tanya jawab dan diskusi. Dari segi kedisplinan peserta cukup bagus, tepat waktu dan semua peserta mengikuti keseluruhan materi seperti yang telah ditentukan. Narasumber selalu tepat waktu, beberapa materi bahkan kekurangan waktu untuk diskusi dan tanya jawab.

Semoga dengan adanya kegiatan In House Training ini dapat menambah wawasan pengetahuan bagi sumber daya manusia di BBTKL PPM Yogyakarta dalam bidang Surveilans Faktor Risiko Penyakit.

Senin, 15 Juni 2009

RESUME INVESTIGASI KASUS LEPTOSPIROSIS DI KECAMATAN PRAMBANAN, KABUPATEN SLEMAN YOGYAKARTA TANGGAL 11 JUNI 2009

A. Latar Belakang:

Berdasarkan informasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, di wilayah Kecamatan Prambanan telah ditemukan kasus Pertama Leptospirosis konfirmasi laboratorium positif Leptospira meninggal dunia pada tanggal 27 Mei 2009. Dalam perkembangannya ditemukan juga kasus kedua Leptospirosis konfirmasi laboratorium positif Leptospira, yang masih dirawat di Puskesmas Prambanan sejak tanggal 9 Juni 2009. Dengan dasar informasi tersebut, tim BBTKL-PPM Yogyakarta bersama dengan tim Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman melakukan investigasi langsung di lokasi kejadian.

B. Waktu dan Lokasi Investigasi :

Pelaksanaan Investigasi pada hari Kamis, tanggal 11 Juni 2009, di Dusun Gamparan, Desa Sumberharo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman Yogyakarta.

C. Tujuan Investigasi :
  1. Untuk mengetahui jumlah penderita Leptospirosis yang telah dilakukan pengobatan.
  2. Untuk mengetahui jumlah populasi risiko di sekitar kasus.
  3. Untuk mengetahui jumlah responden yang positif Leptospira di sekitar rumah kasus dan belum mendapatkan pengobatan.
  4. Untuk mengetahui jenis spesimen lingkungan yang positif Leptospira dengan pemeriksaan laboratorium secara kualitatif.
  5. Untuk mengetahui dugaan sementara faktor risiko pada penderita Leptospirosis.

D. Metodologi Investigasi :

Investigasi ini dilaksanakan dengan metode observasi langsung, wawancara dengan keluarga kasus, wawancara dengan responden di sekitar kasus, melakukan pemeriksaan darah responden dengan Leptotek, dan pemeriksaan laboratorium spesimen lingkungan.

E. Hasil Investigasi :
1. Data Demografi Dusun Gamparan
Jumlah KK : 143 KK
Jumlah Jiwa : 453 jiwa (Laki-laki=222. Perempuan=231).

2. Hasil wawancara dengan keluarga Kasus :
i. Kasus Pertama :
• Nama / Jenis Kelamin : Tn. Sbd / L.
• Umur : 55 tahun.
• Alamat : Dusun Gamparan, Desa Sumberharjo, Kec. Prambanan, Kab. Sleman Yogyakarta.
• Pekerjaan : Buruh bangunan.
• Kronologis sakitnya :
  • Tujuh hari sebelum sakitnya (tanggal 13 Mei 2009), penderita bekerja sebagai buruh bangunan membuat kolam ikan di rumah salah satu warga di Dusun Gamparan yang berjarak sekitar 500 meter dari rumah penderita.
  • Pada tanggal 20 Mei 2009, penderita mulai mengeluh agak meriang, mual, dan nyeri sekitar betis. Penderita tidak berobat.
  • Pada tanggal 21 Mei 2009, demam tinggi dan hanya beli obat di warung (minum Bodrex).
  • Karena gejala yang dikeluhkan tidak membaik, pada tanggal 22 Mei 2009 berobat di Puskesmas Prambanan, dengan pemeriksaan laboratorium positif Leptospira.
  • Pada tanggal 24 Mei 2009, penderita mengeluh tidak bisa kencing kemudian dirawat di Rumah Sakit Islam.
  • Pada tanggal 25 Mei 2009, penderita dirujuk dan dirawat di PKU.
  • Pada tanggal 26 Mei 2009 mulai muncul gejala kekuningan.
  • Pada tanggal 27 Mei 2009 penderita meninggal dunia.

ii. Kasus Kedua :
• Nama / Jenis Kelamin : Ny. Nhyti / P.
• Umur : 31 tahun.
• Alamat : Dusun Gamparan, Desa Sumberharjo, Kec. Prambanan, Kab. Sleman Yogyakarta.
• Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga.
• Kronologis sakitnya :
  • Satu minggu sebelum sakitnya (tanggal 2 Juni 2009), penderita membantu suaminya menanam kedelai di sawah.
  • Pada tanggal 9 Juni 2009, penderita mengeluh demam tinggi, nyeri kepala dan mual. Kemudian berobat dan dirawat di Pukesmas Prambanan. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium positif Leptospira. Pada saat investigasi tanggal 11 Juni 2009, penderita masih dirawat di Puskesmas Prambanan.

3. Hasil Pemeriksaan Rapid Test Leptospira pada 5 Responden disekitar rumah kasus :

1. Bp. Tml (32 th/L) - Tidak ada keluhan - Positif
2. Bp. Klwn (70 th/L) - Nyeri pinggang, lemas - Positif
3. Ny. Prn (45 th/P) - Pusing, nyeri pinggang, lemas - Positif
4. Bp. Sksn (30 th/L) - Didiagnosa hepatitis. - Positif.
5. Ny. Pnrh (53 th/P) - Keju-keju malam hari - Negatif.


3. Hasil pemeriksaan Laboratorium Lingkungan :

1. Air Minum Negatif
2. Kotoran binatang ternak. Negatif
3. Air selokan sekitar kasus Positif

F. Kesimpulan :
  1. Jumlah penderita Leptospirosis yang telah mendapatkan pengobatan sebanyak 2 orang, dengan 1 penderita meninggal dunia, dan 1 penderita lainnya masih dirawat inap.
  2. Populasi risiko di Dusun Gamparan, Desa Sumberharjo, kec. Prambanan, Kab. Sleman Yogyakarta sebanyak 453 orang.
  3. Dari 5 responden yang diperiksa dengan Leptotek, didapatkan 4 responden positif Leptospira dan belum mendapatkan pengobatan.
  4. Dari 3 spesimen lingkungan, hanya 1 spesimen yang positif Leptospira yaitu pada air selokan.
  5. Dugaan sementara faktor risiko yang berkontribusi untuk terjadinya Leptospirosis adalah adanya aktifitas personal yang berkaitan dengan pekerjaan dan terjadi kontak dengan Leptospira di lingkungan.
G. Saran :
  1. Berkaitan dengan sistem kewaspadaan dini, diperlukan pemeriksaan massal pada populasi risiko, dengan diprioritaskan pada warga yang beraktifitas/bekerja kontak langsung dengan lingkungan.
  2. Perlu dilakukan desinfektan lingkungan misal dengan pemberian kaporit pada air selokan.
  3. Perlu dilakukan penyuluhan tentang penyakit Leptospirosis dan pencegahannya di masyarakat.
  4. Perlu dilakukan penyuluhan PHBS di masyarakat.
(dr. Nur Subagyo HS)

Kamis, 28 Mei 2009

In House Training surveilans

Dalam rangka meningkatkan kapasitas surveilans semua staf BBTKL PPM Yogyakarta mengikuti in house training yang diselenggarakan selama empat hari mulai dari tanggal 27 s/d 30 Mei 2009 di Yogyakarta

Selasa, 12 Mei 2009

WHO : Assessing the severity of an influenza pandemic

The major determinant of the severity of an influenza pandemic, as measured by the number of cases of severe illness and deaths it causes, is the inherent virulence of the virus. However, many other factors influence the overall severity of a pandemic’s impact.

Even a pandemic virus that initially causes mild symptoms in otherwise healthy people can be disruptive, especially under the conditions of today’s highly mobile and closely interdependent societies. Moreover, the same virus that causes mild illness in one country can result in much higher morbidity and mortality in another. In addition, the inherent virulence of the virus can change over time as the pandemic goes through subsequent waves of national and international spread.

Properties of the virus

An influenza pandemic is caused by a virus that is either entirely new or has not circulated recently and widely in the human population. This creates an almost universal vulnerability to infection. While not all people ever become infected during a pandemic, nearly all people are susceptible to infection.

The occurrence of large numbers of people falling ill at or around the same time is one reason why pandemics are socially and economically disruptive, with a potential to temporarily overburden health services.

The contagiousness of the virus also influences the severity of a pandemic’s impact, as it can increase the number of people falling ill and needing care within a short timeframe in a given geographical area. On the positive side, not all parts of the world, or all parts of a country, are affected at the same time.

The contagiousness of the virus will influence the speed of spread, both within countries and internationally. This, too, can influence severity, as very rapid spread can undermine the capacity of governments and health services to cope.

Pandemics usually have a concentrated adverse impact in specific age groups. Concentrated illnesses and deaths in a young, economically productive age group will be more disruptive to societies and economies than when the very young or very old are most severely affected, as seen during epidemics of seasonal influenza.

Population vulnerability

The overall vulnerability of the population can play a major role. For example, people with underlying chronic conditions, such as cardiovascular disease, hypertension, asthma, diabetes, rheumatoid arthritis, and several others, are more likely to experience severe or lethal infections. The prevalence of these conditions, combined with other factors such as nutritional status, can influence the severity of a pandemic in a significant way.

Subsequent waves of spread

The overall severity of a pandemic is further influenced by the tendency of pandemics to encircle the globe in at least two, sometimes three, waves. For many reasons, the severity of subsequent waves can differ dramatically in some or even most countries.

A distinctive feature of influenza viruses is that mutations occur frequently and unpredictably in the eight gene segments, and especially in the haemagglutinin gene. The emergence of an inherently more virulent virus during the course of a pandemic can never be ruled out.

Different patterns of spread can also influence the severity of subsequent waves. For example, if schoolchildren are mainly affected in the first wave, the elderly can bear the brunt of illness during the second wave, with higher mortality seen because of the greater vulnerability of elderly people.

During the previous century, the 1918 pandemic began mild and returned, within six months, in a much more lethal form. The pandemic that began in 1957 started mild, and returned in a somewhat more severe form, though significantly less devastating than seen in 1918. The 1968 pandemic began relatively mild, with sporadic cases prior to the first wave, and remained mild in its second wave in most, but not all, countries.

Capacity to respond

Finally, the quality of health services influences the impact of any pandemic. The same virus that causes only mild symptoms in countries with strong health systems can be devastating in other countries where health systems are weak, supplies of medicines, including antibiotics, are limited or frequently interrupted, and hospitals are crowded, poorly equipped, and under-staffed.

Assessment of the current situation

To date, the following observations can be made, specifically about the H1N1 virus, and more generally about the vulnerability of the world population. Observations specific to H1N1 are preliminary, based on limited data in only a few countries.

The H1N1 virus strain causing the current outbreaks is a new virus that has not been seen previously in either humans or animals. Although firm conclusions cannot be reached at present, scientists anticipate that pre-existing immunity to the virus will be low or non-existent, or largely confined to older population groups.

H1N1 appears to be more contagious than seasonal influenza. The secondary attack rate of seasonal influenza ranges from 5% to 15%. Current estimates of the secondary attack rate of H1N1 range from 22% to 33%.

With the exception of the outbreak in Mexico, which is still not fully understood, the H1N1 virus tends to cause very mild illness in otherwise healthy people. Outside Mexico, nearly all cases of illness, and all deaths, have been detected in people with underlying chronic conditions.

In the two largest and best documented outbreaks to date, in Mexico and the United States of America, a younger age group has been affected than seen during seasonal epidemics of influenza. Though cases have been confirmed in all age groups, from infants to the elderly, the youth of patients with severe or lethal infections is a striking feature of these early outbreaks.

In terms of population vulnerability, the tendency of the H1N1 virus to cause more severe and lethal infections in people with underlying conditions is of particular concern.

For several reasons, the prevalence of chronic diseases has risen dramatically since 1968, when the last pandemic of the previous century occurred. The geographical distribution of these diseases, once considered the close companions of affluent societies, has likewise shifted dramatically. Today, WHO estimates that 85% of the burden of chronic diseases is now concentrated in low- and middle-income countries. In these countries, chronic diseases show an earlier average age of onset than seen in more affluent parts of the world.

In these early days of the outbreaks, some scientists speculate that the full clinical spectrum of disease caused by H1N1 will not become apparent until the virus is more widespread. This, too, could alter the current disease picture, which is overwhelmingly mild outside Mexico.

Apart from the intrinsic mutability of influenza viruses, other factors could alter the severity of current disease patterns, though in completely unknowable ways, if the virus continues to spread.

Scientists are concerned about possible changes that could take place as the virus spreads to the southern hemisphere and encounters currently circulating human viruses as the normal influenza season in that hemisphere begins.

The fact that the H5N1 avian influenza virus is firmly established in poultry in some parts of the world is another cause for concern. No one can predict how the H5N1 virus will behave under the pressure of a pandemic. At present, H5N1 is an animal virus that does not spread easily to humans and only very rarely transmits directly from one person to another.

Selasa, 05 Mei 2009

Sebagian Besar Kasus Flu Meksiko Tak Perlu Rawat Inap

JAKARTA, KOMPAS.com (Selasa Tgl 5 Mei 2009, jam 21.51 WIB)— Sebagian besar pasien flu meksiko mengalami keluhan ringan dan tidak dirawat inap di rumah sakit.

Demikian disampaikan Prof Tjandra Yoga Aditama, Dirjen Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI, di Jakarta, Selasa (5/5), kepada Kompas.com lewat surat elektronik mengutip publikasi terbaru di Physician's First Watch pada 4 Mei .

Menurut Tjandra, data terakhir, menurut WHO, sudah ada 21 negara melaporkan kasus dengan total 1.085 kasus dan 26 (2,3 persen) meninggal.

Sampai Minggu (3/5) ada 226 pasien flu meksiko H1N1 di Amerika Serikat. Dari 226 itu hanya 30 (13,2 persen) yang dirawat inap di rumah sakit. Sisanya sekitar 87 persen dapat sembuh tanpa harus masuk rumah sakit.

Angka ini tentu jauh berbeda dengan kasus flu burung, di mana 100 persen pasiennya dirawat inap di rumah sakit dengan angka kematian (CFR) sekitar 80 persen.

Senin, 04 Mei 2009

Vaccines for the new influenza A(H1N1)

2 May 2009 (WHO)

Is an effective vaccine already available against the new influenza A(H1N1) virus?

No, but work is already under way to develop such a vaccine. Influenza vaccines generally contain a dead or weakened form of a circulating virus. The vaccine prepares the body’s immune system to defend against a true infection. For the vaccine to protect as well as possible, the virus in it should match the circulating “wild-type” virus relatively closely. Since this H1N1 virus is new, there is no vaccine currently available made with this particular virus. Making a completely new influenza vaccine can take five to six months.

What implications does the declaration of a pandemic have on influenza vaccine production?

Declaration by WHO of phase 6 of pandemic alert does not by itself automatically translate into a request for vaccine manufacturers to immediately stop production of seasonal influenza vaccine and to start production of a pandemic vaccine. Since seasonal influenza can also cause severe disease, WHO will take several important considerations such as the epidemiology and the severity of the disease when deciding when to formally make recommendations on this matter. In the meantime, WHO will continue to interact very closely with regulatory and other agencies and influenza vaccine manufacturers.

How important will influenza A(H1N1) vaccines be for reducing pandemic disease?

Vaccines are one of the most valuable ways to protect people during influenza epidemics and pandemics. Other measures include anti-viral drugs, social distancing and personal hygiene.

Will currently available seasonal vaccine confer protection against influenza A(H1N1)?

The best scientific evidence available today is incomplete but suggests that seasonal vaccines will confer little or no protection against influenza A(H1N1).

What is WHO doing to facilitate production of influenza A(H1N1) vaccines?

As soon as the first human cases of new influenza A(H1N1) infection became known to WHO, the WHO Collaborating Center in Atlanta (The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) in the United States of America) took immediate action and began the work to develop candidate vaccine viruses. WHO also initiated consultations with vaccine manufacturers worldwide to facilitate the availability of all necessary material to start production of influenza A(H1N1) vaccine. In parallel, WHO is working with national regulatory authorities to ensure that the new influenza A(H1N1) vaccine will meet all safety criteria and be made available as soon as possible.

Why is WHO not asking vaccine manufacturers to switch production from seasonal vaccine to a influenza A(H1N1) vaccine yet?

WHO has not recommended stopping production of seasonal influenza vaccine because this seasonal influenza causes 3 million to 5 million cases of severe illness each year, and kills from 250 000 to 500 000 people. Continued immunization against seasonal influenza is therefore important. Moreover, stopping seasonal vaccine production immediately would not allow a pandemic vaccine to be made quicker. At this time, WHO is liaising closely with vaccine manufacturers so large-scale vaccine production can start as soon as indicated.

Is it possible that manufacturers produce both seasonal and pandemic vaccines at the same time?

There are several potential options which must be considered based on all available evidence.

What is the process for developing a pandemic vaccine? Has a vaccine strain been identified, and if so by whom?

A vaccine for the Influenza A(H1N1) virus will be produced using licensed influenza vaccine processes in which the vaccine viruses are grown either in eggs or cells. Candidate vaccine strains have been identified and prepared by the WHO Collaborating Center in Atlanta (The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) in the United States of America)1. These strains have now been received by the other WHO Collaborating Centers which have also started preparation of vaccine candidate viruses. Once developed, these strains will be distributed to all interested manufacturers on request. Availability is anticipated by mid-May.

How quickly will influenza A(H1N1) vaccines be available?

The first doses of Influenza A(H1N1) vaccine could be available in five to six months from identification of the pandemic strain. The regulatory approval will be conducted in parallel with the manufacturing process. Regulatory authorities have put into place expedited processes that do not compromise on the quality and safety of the vaccine. Delays in production could result from poor growth of the virus strain used to make the vaccine.

How would manufacturers be selected?

There are currently more than a dozen vaccine manufacturers with licenses to produce influenza vaccines. Upon request, the vaccine strain will be available to each of them, as well as to other qualified vaccine manufacturers who are preparing to make influenza vaccine but do not yet have a licensed influenza vaccine.

What is the global manufacturing capacity for a potential influenza A(H1N1) pandemic vaccine? Is this the same as the global manufacturing capacity for H5N1?

The projections made for the production capacity of an vaccine for H5N1 cannot be automatically assumed to be the capacity to make an H1N1 vaccine. H5N1 and H1N1 viruses are different and the amount of antigen needed to make an effective H1N1 vaccines may be different than for H5N1. Therefore it is not possible to make a precise estimate. However, given these considerations, a conservative estimate of global capacity is at least 1 to 2 billion doses per year.

How is production capacity for influenza vaccines distributed geographically?

More that 90% of the global capacity today is located in Europe and in North America. However, during the past five years, other regions have begun to acquire the technology to produce influenza vaccines. Six manufacturers in developing countries have done so with technical and financial support from WHO.

What will be the storage requirements for influenza A(H1N1) vaccine?

The vaccine should be stored under refrigerated conditions at between 2°C and 8°C.

It has been impossible so far to develop vaccines for major killers such as HIV and malaria. How sure are we that there will not be scientific or other hurdles in developing an effective influenza A(H1N1) vaccine?

Typically, development of influenza vaccines has not posed a problem. Influenza vaccines have been used in humans for many years and are known to be immunogenic and effective. Each year seasonal influenza vaccines with varying composition are produced for the northern and southern hemisphere influenza seasons. Vaccine manufacturers will employ a number of different technologies to develop their vaccines. They will take advantage, notably, of novel approaches that were developed over the past years for H5N1 avian influenza vaccines. One key unknown is yield of vaccine virus production, since some strains grow better than others and the behavior of the new influenza A(H1N1) strain in manufacturers’ systems is not yet known. New recombinant technologies are under development, but have not yet been approved for use.

Will influenza A(H1N1) vaccines be effective in all population groups?

There are not data on this but there also is no reason to expect that they would not, given current information.

Will the influenza A(H1N1) vaccine be safe?

Licensed vaccines are held to a very high standard of safety. All possible precautions will be taken to ensure safety of new influenza A(H1N1) vaccines.

How can a repeat of the 1976 swine flu vaccine complications (Guillain-Barré syndrome) experienced in the United States of America be avoided?

Guillain-Barré syndrome is an acute disorder of the nervous system. It is observed following a variety of infections, including influenza. Studies suggest that regular seasonal influenza vaccines could be associated with an increased risk of Guillain-Barré syndrome on the order of one to two cases per million vaccinated persons. During the 1976 influenza vaccination campaign, this risk increased to around 10 cases per million vaccinated persons which led to the withdrawal of the vaccine.

Pandemic vaccines will be manufactured according to established standards. However, they are new products so there is an inherent risk that they will cause slightly differently reactions in humans. Close monitoring and investigation of all serious adverse events following administration of vaccine is essential. The systems for monitoring safety are an integral part of the strategies for the implementation of the new pandemic influenza vaccines. Quality control for the production of influenza vaccines has improved substantially since the 1970s.

Will it be possible to deliver new influenza A(H1N1) vaccine simultaneously with other vaccines?

Inactivated influenza vaccine can be given at the same time as other injectable vaccines, but the vaccines should be administered at different injection sites.

If the virus causes a mild pandemic in the warmer months and changes into something much more severe in, say, 6 months, will vaccines being developed now be effective?

It is too early to be able to predict changes in the influenza A(H1N1) virus as it continues to circulate in humans or how similar a mutated virus might be to the current virus. Careful surveillance for changes in the influenza A(H1N1) virus is ongoing. This close and constant monitoring will support a quick response should important changes in the virus be detected.

Will there be enough influenza A(H1N1) vaccine for everyone?

The estimated time to make enough vaccine to vaccinate the world's population against pandemic influenza will not be known until vaccine manufacturers will have been able to determine how much active ingredient (antigen) is needed to make one dose of effective influenza A(H1N1) vaccine.

In the past two years, influenza vaccine production capacity has increased sharply due to expansion of production facilities as well as advances in research, including the discovery and use of adjuvants. Adjuvants are substances added to a vaccine to make it more effective, thus conserving the active ingredient (antigen).

What is WHO's perspective on fairness and equity for vaccine availability?

The WHO Director-General has called for international solidarity in the response to the current situation. WHO regards the goal of ensuring fair and equitable access by all countries to response measures to be among the highest priorities. WHO is working very closely with partners including the vaccine manufacturing industry on this.

Who is likely to receive priority for vaccination with a future pandemic vaccine?

This decision is made by national authorities. As guidance, WHO will be tracking the evolution of the pandemic in real-time and making its findings public. As information becomes available, it may be possible to better define high-risk groups and to target vaccination for those groups, thus ensuring that limited supplies are used to greatest effect.

Will WHO be conducting mass influenza A(H1N1) vaccination campaigns?

No. National authorities will implement vaccination campaigns according to their national pandemic preparedness plans. WHO is exploring whether the vaccine can be packaged, for example, in multi-dose vials, to facilitate the rapid and efficient vaccination of large numbers of people.

Developing countries are very experienced in administering population-wide vaccination campaigns during public health emergencies caused by infectious diseases, including diseases like epidemic meningitis and yellow fever, as well as for polio eradication and measles control programmes.

How feasible will it be to immunize large numbers of people in developing countries against a pandemic virus?

Developing countries have considerable strategic and practical experience in delivering vaccines in mass campaigns. The main issue is not feasibility, but how to ensure timely access to adequate quantities of vaccine.

What is the estimated global number of doses of seasonal vaccine used annually?

The current annual demand is for less than 500 million doses per year.

Will seasonal influenza vaccine continue to be available?

At this time there is no recommendation to stop production of seasonal influenza vaccine.

1National Institute for Biological Standards and Control (UK), Food and Drug Administration/Center for Biologics Evaluation and Research (USA), New York Medical College (USA), Victorian Infectious Diseases Research Laboratory (Australia)

Influenza A(H1N1) - update 11 (WHO)

Influenza A(H1N1) - update 11

3 May 2009 -- As of 0600 GMT, 3 May 2009, 17 countries have officially reported 787 cases of influenza A(H1N1) infection.

Mexico has reported 506 confirmed human cases of infection, including 19 deaths. The higher number of cases from Mexico in the past 48 hours reflects ongoing testing of previously collected specimens. The United States Government has reported 160 laboratory confirmed human cases, including one death.

The following countries have reported laboratory confirmed cases with no deaths - Austria (1), Canada (70), China, Hong Kong Special Administrative Region (1), Costa Rica (1), Denmark (1), France (2), Germany (6), Ireland (1), Israel (3), Netherlands (1), New Zealand (4), Republic of Korea (1), Spain (13), Switzerland (1) and the United Kingdom (15).

Further information on the situation will be available on the WHO website on a regular basis.

WHO advises no restriction of regular travel or closure of borders. It is considered prudent for people who are ill to delay international travel and for people developing symptoms following international travel to seek medical attention, in line with guidance from national authorities.

Canada on 2 May reported the identification of the A(H1N1) virus in a swine herd in Alberta. It is highly probable that the pigs were exposed to the virus from a Canadian farm worker recently returned from Mexico, who had exhibited flu-like symptoms and had contact with the pigs. There is no indication of virus adaptation through transfer from human to pigs at this time.

There is no risk of infection from this virus from consumption of well-cooked pork and pork products.

Individuals are advised to wash hands thoroughly with soap and water on a regular basis and should seek medical attention if they develop any symptoms of influenza-like illness.

Minggu, 03 Mei 2009

Jumlah Kasus Flu Babi Terinfeksi 615 Orang

Liputan6.com, Jenewa: Badan Kesehatan Dunia (WHO), baru-baru ini, kembali mengumumkan jumlah kasus flu H1N1 di seluruh dunia telah meningkat menjadi 615 dengan 17 angka kematian. WHO masih berjaga-jaga apabila level flu babi terus meningkat ke level maksimumnya, yaitu level enam.

Sementara itu, Meksiko masih menjadi negara dengan jumlah kasus terbanyak. Namun, pemerintah Meksiko optimis kondisi wabah flu di negaranya mulai membaik setelah tidak ada laporan baru korban tewas akibat flu babi.

Sedangkan di Amerika Serikat, kondisi penyebaran flu babi di negara itu belum membaik. Hingga pekan ini, sebanyak 161 kasus flu babi telah dikonfirmasi. Satu di antaranya telah dilaporkan meninggal.

Di Italia, seorang pria dipastikan positif terinfeksi flu H1N1. Dia mendapat gejala flu setelah pulang dari Meksiko bersama dengan istrinya. Namun, dilaporkan pria itu berangsur pulih setelah mendapatkan perawatan di rumah sakit.

Sementara di kawasan Asia, pemerintah Hongkong mengumumkan kondisi darurat setelah seorang wisatawan asal Meksiko dinyatakan positif terjangkit flu babi. Kondisi tersebut membuat ratusan wisatawan dan pegawai hotel Metropark Hongkong, tempat tinggal wisatawan itu, dikarantina di sebuah rumah sakit. Polisi tengah melacak ratusan penumpang pesawat yang bersamaan dengan pria itu, termasuk sopir taksi yang mengantarnya ke hotel.

Di Korea Selatan, dilaporkan seorang perempuan positif menderita flu babi. Saat ini, lebih dari 170 orang diduga terjangkit flu babi dilaporkan telah meninggal di Meksiko.(BOG/Tim Liputan 6 SCTV)

Infection prevention and control in health care in providing care for confirmed or suspected A(H1N1) swine influenza patients


Infection prevention and control in health care in providing care for
confirmed or suspected A(H1N1) swine influenza patients
Interim guidance
29 April 2009

Background
The current situation regarding the outbreaks of A(H1N1) swine influenza is evolving rapidly, and countries from different regions of the globe have been affected.

Based on epidemiological data, human-to-human transmission has been demonstrated along with the ability of the virus to cause community-level outbreaks which together suggest the possibility of sustained human-to-human transmission. Health-care facilities now face the challenge of providing care for patients infected with A(H1N1) swine influenza. It is critical that health-care workers use appropriate infection control precautions when caring for patients with influenza-like symptoms, particularly in areas affected by outbreaks of A(H1N1) swine influenza, in order to minimize the possibility of transmission among themselves, to other health-care workers, patients and visitors.

As at 29 April, human-to-human transmission of A(H1N1) swine influenza virus appears to be
mainly through droplets. Therefore, the infection control precautions for patients with suspected
or confirmed A(H1N1) swine influenza and those with influenza-like symptoms should prioritize
the control of the spread of respiratory droplets. The precautions for influenza virus with sustained human-to-human transmission (e.g. pandemic-prone influenza) are described in detail in the document “Infection prevention and control of epidemic- and pandemic-prone acute respiratory diseases in health care WHO Interim Guidelines” 1.

This guidance may change as new information becomes available.

Fundamentals of infection prevention strategies
  1. Administrative controls are key components, including: implementation of Standard and Droplet Precautions; avoid crowding, promote distance between patients (≥ 1 m); patienttriage for early detection, patient placement and reporting; organization of services; policies on rational use of available supplies; policies on patient procedures; strengthening of infection control infrastructure.
  2. Environmental/engineering controls, such as basic health-care facility infrastructure 2 , adequate ventilation, proper patient placement, and adequate environmental cleaning can help reduce the spread of some respiratory pathogens during health care.
  3. Rational use of available personal protective equipment (PPE) and appropriate hand hygiene.
CRITICAL MEASURES:
  • Avoid crowding patients together, promote distance between patients
  • Protect mucosa of mouth and nose
  • Perform hand hygiene

Summary Precautions
For staff providing care to patients with suspected or confirmed A(H1N1) swine influenza infection and for patients with influenza-like symptoms. Standard and Droplet Precautions should be strengthened when working in direct contact with suspected or confirmed A(H1N1) swine influenza infected patients. Key elements:
  • use a medical or surgical mask
  • emphasize hand hygiene and provide hand hygiene facilities and supplies.
As per Standard Precautions2, if there is a risk of splashes onto face:
  • use face protection! Use either (1) a medical or surgical mask and eye-visor or goggles, or a face shield and,
  • use a gown and clean gloves.
  • DO NOT FORGET HAND HYGIENE AFTER PPE REMOVAL!
Aerosol generating procedures (e.g. aspiration of respiratory tract, intubation, resuscitation, bronchoscopy, autopsy) are associated with increased risk of infection transmission, and the infection control precautions should include using:
  • particulate respirator (e.g. EU FFP2, US NIOSH-certified N95);
  • eye protection (i.e. goggles);
  • a clean, non-sterile, long-sleeved gown;
  • gloves (some of these procedures require sterile gloves).
KEY ELEMENTS FOR HEALTH CARE
1. Basic infection control recommendations for all health-care facilities.
Standard and Droplet Precautions when caring for a patient with an acute, febrile,
respiratory illness.
2. Respiratory hygiene/cough etiquette.
Health-care workers, patients and family members should cover mouth and nose with a
tissue when coughing and perform hand hygiene afterwards.
3. Infection control precautions for suspected and confirmed A(H1N1) swine influenza
infection.
Place patient in adequately-ventilated room. If single rooms are not available, cohort
patients in wards keeping at least 1 metre distance between beds. Standard, and
Droplet Precautions for all persons entering the isolation room.
4. Triage, early recognition and reporting of A(H1N1) swine influenza infection.
Consider A(H1N1) swine influenza infection in patients with acute, febrile, respiratory
illness who have been in an affected region within the one week prior to symptom onset
and who have had exposure to an A(H1N1) swine influenza infected patient or animal.
5. Additional measures to reduce nosocomial A(H1N1) swine influenza virus transmission
Limit numbers of health-care workers/family members/visitors exposed to the A(H1N1)
swine influenza patient.
6. Specimen collection/transport/handling within health-care facilities
Use Standard, and Droplet Precautions for specimen collection. Use Standard Precautions
for specimen transport to the laboratory. Health-care facility laboratories should follow
good biosafety practices.
7. Family member/visitor recommendations
Family members/visitors should be limited to those essential for patient support and
should use the same infection control precautions as health-care workers.
8. Patient transport within health-care facilities
Suspect or confirmed A(H1N1) swine influenza patients should wear a medical/surgical
mask.
9. Pre-hospital care
Infection control precautions are similar to those practiced during hospital care for all
involved in the care of suspected A(H1N1) swine influenza patients. (e.g. transportation
to hospital).
10. Occupational health
Monitor health of health-care workers exposed to A(H1N1) swine influenza patients.
Antiviral prophylaxis should follow local policy. Health-care workers with symptoms
should stay at home.
11. Waste disposal
Treat any waste that could be contaminated with A(H1N1) swine influenza virus as
infectious clinical waste, e.g. used masks.
12. Dishes/eating utensils
Wash using routine procedures with water and detergent. Use non-sterile rubber gloves.
13. Linen and laundry
Wash with routine procedures, water and detergent; avoid shaking linen/laundry during
handling before washing. Use non-sterile rubber gloves.
14. Environmental cleaning and disinfection
Clean soiled and/or frequently touched surfaces regularly with a disinfectant. e.g. door
handles.
15. Patient care equipment
Dedicate separate equipment to A(H1N1) swine influenza patients. If not possible, clean
and disinfect before reuse in another patient.
16. Duration of A(H1N1) swine influenza infection control precautions For the duration of
symptoms.
17. Patient discharge
If the A(H1N1) swine influenza patient is discharged while still infectious (i.e. discharged
within the period of infection control precautions: see 16 above), instruct family members
on appropriate infection control precautions in the home.
18. Prioritization of PPE when supplies are limited Medical/surgical mask for the care of all
A(H1N1) swine influenza patients and hand hygiene are priorities.
19. Health-care facility engineering controls
If available, A(H1N1) swine influenza patients must be placed in adequately-ventilated
single rooms. Aerosol-generating procedures should be performed in well ventilated spaces.
20. Mortuary care
Mortuary staff and the burial team should apply Standard Precautions i.e. perform proper
hand hygiene and use appropriate PPE (use of gown, gloves, facial protection if there is a
risk of splashes from patient's body fluids/secretions onto staff member's body or face).
21. Health-care facility managerial activities
Education, training, and risk communication. Adequate staffing and supplies.
22. Health care in the community
Limit contact with the ill person as much as possible. If close contact is unavoidable, use the
best available protection against respiratory droplets and perform hand hygiene.
************

Sabtu, 02 Mei 2009

Virus H1N1 pernah Ditemukan di Bali

Denpasar - Hasil evaluasi Dinas Kesehatan Bali dan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar melaporkan virus H1N1 pernah terdeteksi di Bali. Virus H1N1 yang yang kini dikenal dengan virus flu babi terdeteksi saat maraknya penularan virus flu burung di Bali.

Namun hasil analisis Dinas Kesehatan Bali virus H1N1 yang terdeteksi di Bali hanya memiliki persamaan sub tipe dengan virus H1N1 yang dikenal dengan flu babi di Mexico.

Kasi Pelayanan Medik RSUP Sanglah Denpasar Ken Wirasandhi pada keterangannya di Denpasar (29/4) menyatakan secara struktur atau bentuk DNA virus H1N1 yang terdeteksi di Bali berbeda dengan virus flu babi.

“H1N1 yang sudah umum ada di masyarakat itu memang sudah ada dan itu yang disebut camon cool, hampir semua orang pernah kena, hanya sekarang strain yang bagaimana dari H1N1 yang bersifat virulens dapat menimbulkan kematian 7 sampai 8 persen” papar Ken Wirasandhi.

Sementara, Kepala Dinas Kesehatan Bali Nyoman Sutedja, memprediksikan flu babi merupakan hasil mutasi dari virus H1N1 yang terdeteksi di Bali. Guna memastikan penyebaran flu babi, Dinas Kesehatan Bali berencana akan kembali bekerjasama dengan badan kesehatan dunia (WHO) untuk melakukan uji sample darah baik terhadap manusia ataupun hewan.

Jumat, 01 Mei 2009

Flu Babi Naik Level 5

Badan Kesehatan Dunia (WHO) kembali menaikkan level peringatan bahaya terhadap penyakit flu babi, dari level empat ke level lima, Kamis (30/4). Artinya virus itu telah menyebar dari manusia ke manusia, dan terjadi setidaknya di dua negara. Sedangkan level paling berbahaya adalah level enam, yaitu jika terjadi pandemi global.

Penyakit flu babi memang terus meluas dan menelan korban jiwa. Di Meksiko, negara asal penyakit ini, korban tewas telah mencapai 159 jiwa. Sedangkan jumlah penderita nyaris menembus angka 2.500 orang.

Sementara di Houston, Texas, Amerika Serikat, seorang anak berusia dua tahun yang positif menderita flu babi akhirnya meninggal. Ini merupakan korban pertama flu babi di AS. Para ahli kini sedang melakukan rangkaian tes penyebab dan perkembangan virus. Dipastikan korban sebelumnya sempat berkunjung ke Meksiko. Ketika dirawat, ia sama sekali tidak mengadakan kontak dengan pasien lain.

Anak ini merupakan satu dari 16 kasus positif flu babi di Texas. Belum lagi kasus lain di sejumlah kota di AS. Karena begitu mengkhawatirkan muncul wacana untuk menutup perbatasan AS-Meksiko. Namun sejauh ini ide itu ditepis oleh Presiden AS Barack Obama.

Tak hanya di AS, kasus positif flu babi juga ditemukan di Eropa. Setelah Inggris dan Spanyol, giliran pemerintah Jerman melaporkan adanya penyebaran virus H1N1 di negara mereka.

Kini, setiap negara harus segera mengaktifkan rencana penanganan darurat pandemi. WHO menyerukan agar mewaspadai penyebaran penyakit mirip flu dan radang paru-paru berat. Selain itu, persiapkan obat antiviral dan penanganan jika sewaktu-waktu dibutuhkan.

FLU Babi diganti Namanya

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan takkan lagi menggunakan istilah "flu babi" (swine flu) dalam merujuk wabah saat ini. Mereka memilih untuk menyebut virus influensa tersebut sebagai "influensa A (H1N1)". Demikian pernyataan lembaga PBB tersebut yang disiarkan jaringan internetnya, Kamis (30/4).

WHO mengatakan virus H1N1 itu berisi unsur virus unggas dan manusia. Asisten Direktur Jenderal WHO Keiji Fukuda mengatakan, WHO tak percaya bahwa orang akan terinfeksi oleh babi. "Ini benar-benar merupakan virus yang menular dari manusia ke manusia. Oleh karena itu, kami kira dengan tindakan penanganan makanan, memakan daging babi tak menimbulkan bahaya buat manusia," katanya.

Hal senada disampaikan Menteri Pertanian AS Tom Vilsack. "Ini bukan penyakit yang ditularkan oleh makanan, tapi virus. Tidak tepat merujuknya sebagai flu babi karena sungguh bukan itu masalahnya," kata Vilsack. Bagi produsen daging babi di AS, nama flu babi telah merugikan. Para pejabat pemerintah akhirnya mengambil sikap dengan menegaskan bahwa daging babi Amerika aman dimakan dan negara lain tak perlu melarang impor.

Peta Bencana DIY dan Jateng


Peta Banjir Banyumas
Peta Banjir Semarang

Peta Bencana DIY & jateng


SURVEILANS EPIDEMIOLOGI BBTKL- PPM Yogyakarta: Pengertian Wabah, Epidemi, Pandemi.

Pengertian Wabah, Epidemi, Pandemi.

SURVEILANS EPIDEMIOLOGI BBTKL- PPM Yogyakarta: Kejadian Luar Biasa

Kejadian Luar Biasa

SURVEILANS EPIDEMIOLOGI BBTKL- PPM Yogyakarta: Epidemiologi Penyakit Menular

Epidemiologi Penyakit Menular

Info Gunung Slamet-Hujan Abu

BREBES, KOMPAS.com, 29 April 2009

Hujan abu vulkanik dari Gunung Slamet, Jawa Tengah yang melanda sejumlah wilayah di Kabupaten Tegal dan Brebes saat ini mulai berkurang. Berdasarkan arah angin, diperkirakan pergerakan abu lebih cenderung ke arah tenggara atau Banyumas.

Sudiryo HS, tokoh masyarakat Desa Kaligiri, Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, Rabu (29/4) mengatakan, sesekali hujan abu masih ada, tetapi tipis dan hampir tidak terasa. Abu muncul bersamaan dengan letusan dari Gunung Slamet. "Kalau cuaca terang, abu sampai ke desa yang masuk dalam range II, tapi kalau hujan ya tidak sampai,"ujarnya.

Sebelumnya, hujan abu memang sempat turun cukup tebal. Namun, hal tersebut hanya terjadi selama tiga hari, pada Minggu hingga Selasa, pekan lalu. Selain abu, saat itu juga tercium bau belerang, yang diduga berasal dari dalam tanah.

Kepala Stasiun Meteorologi Tegal, Sartono mengatakan, saat ini angin timur sudah mulai dominan. Angin cenderung bergerak dari arah timur laut ke tenggara. Oleh karena itu, arah abu letusan juga cenderung ke arah tenggara atau Banyumas, mengikuti arah angin.

Meskipun demikian, wilayah lain yang berada di sekitar Gunung Slamet, seperti Kabupaten Tegal, Brebes, dan Pemalang juga masih berpotensi terkena hujan abu. Pasalnya abu meletus ke atas, sehingga akan tetap menyebar ke daerah-daerah sekitarnya, sebelum terbawa angin.

Menurut dia, radius hujan abu tergantung pada kekuatan letusan. Semakin tinggi letusan, tekanan semakin kuat, sehingga abu semakin jauh terhembus.

Pengamat pada Pos Pengamatan Gunung Api Slamet di Gambuhan, Kecamatan Pulosari, Pemalang, Nurcholis mengatakan, hujan abu di sekitar pos pengamatan sudah tidak ada. Wilayah yang diketahui masih terlanda hujan abu, di sekitar Sirampog, Brebes.

Menurut dia, pada Rabu terjadi kenaikan suhu air panas. Suhu air di Pandansari, Guci mencapai 46 derajat celsius, naik dari hari sebelumnya yang hanya 44,9 derajat celsius. Sementara, suhu air di Kasepuhan, Guci naik dari sehari sebelumnya 64,8 derajat celcius menjadi 65,8 derajat celsius.

Jumlah gempa letusan mulai pukul 00.00 hingga 18.00 mencapai 230 kali. Selain itu terjadi gempa tremor vulkanik secara terus-menerus, dengan amplitudo satu hingga 10 milimeter. Hingga saat ini, Gunung Slamet masih berstatus siaga.

Pasang Tenda

Sementara itu, Tim SAR Kabupaten Brebes telah memasang lima tenda pengungsian, untuk mengantisipasi apabila terjadi evakuasi warga. Koordinator Tim SAR Brebes, Adhe Dani Raharjo mengatakan, lima tenda sudah dipasang di Dukuh Cilik dan Dukuh Tengah di Desa Dawuhan, Desa Igir Klanceng, ibukota Kecamatan Sirampog, dan Desa Pandansari, Kecamatan Paguyangan.

Masing-masing tenda memiliki kapasitas 200 orang. Selain itu, terdapat posko induk yang didirikan di Desa Dawuhan, Kecamatan Sirampog. Desa yang berjarak sekitar 50 kilometer dari puncak Gunung Slamet tersebut merupakan titik aman pertama, karena di atasn ya terdapat bukit.

Kamis, 30 April 2009

Flu Babi Ancaman Pandemik Global

Penyakit flu babi memang terus meluas dan menelan korban jiwa. Di Meksiko, negara asal penyakit ini, korban tewas telah mencapai 159 jiwa. Sedangkan jumlah penderita nyaris menembus angka 2.500 orang.

Sementara di Houston, Texas, Amerika Serikat, seorang anak berusia dua tahun yang positif menderita flu babi akhirnya meninggal. Ini merupakan korban pertama flu babi di AS. Para ahli kini sedang melakukan rangkaian tes penyebab dan perkembangan virus. Dipastikan korban sebelumnya sempat berkunjung ke Meksiko. Ketika dirawat, ia sama sekali tidak mengadakan kontak dengan pasien lain.

Anak ini merupakan satu dari 16 kasus positif flu babi di Texas. Belum lagi kasus lain di sejumlah kota di AS. Karena begitu mengkhawatirkan muncul wacana untuk menutup perbatasan AS-Meksiko. Namun sejauh ini ide itu ditepis oleh Presiden AS Barack Obama.

Tak hanya di AS, kasus positif flu babi juga ditemukan di Eropa. Setelah Inggris dan Spanyol, giliran pemerintah Jerman melaporkan adanya penyebaran virus H1N1 di negara mereka.

Kini, setiap negara harus segera mengaktifkan rencana penanganan darurat pandemi. WHO menyerukan agar mewaspadai penyebaran penyakit mirip flu dan radang paru-paru berat. Selain itu, persiapkan obat antiviral dan penanganan jika sewaktu-waktu dibutuhkan

Penyebaran flu babi, lanjut Menkes, terbagi dalam enam fase. Fase pertama yaitu infeksi pada binatang dengan tingkat rendah dan tidak menyebar. Fase dua yaitu infeksi pada binatang dengan tingkat tinggi dan belum menyebar.

Fase tiga yaitu infeksi pada manusia dan tidak menular antar manusia. Fase empat yaitu infeksi pada manusia dan menular antar manusia. Fase lima yaitu infeksi pada manusia dan sudah meluas, dan fase enam ditandai dengan infeksi pada manusia dengan penularan antar manusia yang sangat berlanjut.


Epidemiologi Penyakit Menular

1. Konsep Dasar Terjadinya Penyakit

Suatu penyakit timbul akibat dari beroperasinya berbagai faktor baik dari agen, induk semang atau lingkungan. Bentuk ini tergambar didalam istilah yang dikenal luas dewasa ini. Yaitu penyebab majemuk (multiple causation of disease) sebagai lawan dari penyebab tunggal (single causation).

Didalam usaha para ahli untuk mengumpulkan pengetahuan mengenai timbulnya penyakit, mereka telah membuat model-model timbulnya penyakit dan atas dasar model-model tersebut dilakukan eksperimen terkendali untuk menguji sampai dimana kebenaran dari model-model tersebut.

Tiga model yang dikenal dewasa ini ialah 1) segitiga epidemiologi (the epidemiologic triangle) 2) jaring-jaring sebab akibat (the web of causation) dan 3) roda (the wheel).

1.1 Segitiga Epidemiologi (lihat gambar)

1.2 Jaring-Jaring Sebab Akibat

Menurut model ini perubahan dari salah satu faktor akan mengubah keseimbangan antara mereka, yang berakibat bertamba atau berkurangnya penyakit yang bersangkutan. (lihat gambar)

Menurut model ini, suatu penyakit tidak bergantung pada satu sebab yang berdiri sendiri melainkan sebagai akibat dari serangkaian proses sebab dan akibat. Dengan demikian maka timbulnya penyakit dapat dicegah atau dihentikan dengan memotong mata rantai pada berbagai titik.

1.3 Roda

Seperti halnya dengan model jaring-jaring sebab akibat, model roda memerlukan identifikasi dari berbagai faktor yang berperan dalam timbulnya penyakit dengan tidak begitu menekankan pentingnya agen. Disini dipentingkan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Besarnya peranan dari masing-masing lingkungan bergantung pada penyakit yang bersangkutan.

Sebagai contoh peranan lingkungan sosial lebih besar dari yang lainnya pada stress mental, peranan lingkungan fisik lebih besar dari lainnya pada sunburn, peranan lingkungan biologis lebih besar dari lainnya pada penyakit yang penularannya melalui vektor (vektor borne disease) dan peranan inti genetik lebih besar dari lainnya pada penyakit keturunan.

Dengan model-model tersebut diatas hendaknya ditunjukkan bahwa pengetahuan yang lengkap mengenai mekanisme-mekanisme terjadinya penyakit tidaklah diperuntukkan bagi usaha-usaha pemberantasan yang efektif.

Oleh karena banyaknya interaksi-interaksi ekologis maka seringkali kita dapat mengubah penyebaran penyakit dengan mengubah aspek-aspek tertentu dari interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya tanpa intervensi langsung pada penyebab penyakit.

2. Penyakit Menular

Yang dimaksud penyakit menular adalah penyakit yang dapat ditularkan (berpindah dari orang yang satu ke orang yang lain, baik secara langsung maupun melalui perantara). Penyakit menular ini ditandai dengan adanya (hadirnya) agen atau penyebab penyakit yang hidup dan dapat berpindah.

Suatu penyakit dapat menular dari orang yang satu kepada yang lain ditentukan oleh 3 faktor tersebut diatas, yakni :
a. Agen (penyebab penyakit)
b. Host (induk semang)
c. Route of transmission (jalannya penularan)

Apabila diumpamakan berkembangnya suatu tanaman, dapat diumpamakan sebagai biji (agen), tanah (host) dan iklim (route of transmission).

2.1 Agen-Agen Infeksi (Penyebab Infeksi)

Makhluk hidup sebagai pemegang peranan penting didalam epidemiologi yang merupakan penyebab penyakit dapat dikelompokkan menjadi :
a. Golongan virus, misalnya influenza, trachoma, cacar dan sebagainya.
b. Golongan riketsia, misalnya typhus.
c. Golongan bakteri, misalnya disentri.
d. Golongan protozoa, misalnya malaria, filaria, schistosoma dan sebagainya.
e. Golongan jamur, yakni bermacam-macam panu, kurap dan sebagainya.
f. Golongan cacing, yakni bermacam-macam cacing perut seperti ascaris (cacing
gelang), cacing kremi, cacing pita, cacing tambang dan sebagainya.

Agar supaya agen atau penyebab penyakit menular ini tetap hidup (survive) maka perlu persyaratan-persyaratan sebagai berikut :
a. Berkembang biak
b. Bergerak atau berpindah dari induk semang
c. Mencapai induk semang baru
d. Menginfeksi induk semang baru tersebut.

Kemampuan agen penyakit ini untuk tetap hidup pada lingkungan manusia adalah suatu faktor penting didalam epidemiologi infeksi. Setiap bibit penyakit (penyebab penyakit) mempunyai habitat sendiri-sendiri sehingga ia dapat tetap hidup.

Dari sini timbul istilah reservoar yang diartikan sebagai berikut 1) habitat dimana bibit penyakit tersebut hidup dan berkembang 2) survival dimana bibit penyakit tersebut sangat tergantung pada habitat sehingga ia dapat tetap hidup. Reservoar tersebut dapat berupa manusia, binatang atau benda-benda mati.

Reservoar didalam Manusia

Penyakit-penyakit yang mempunyai reservoar didalam tubuh manusia antara lain campak (measles), cacar air (small pox), typhus (typhoid), miningitis, gonoirhoea dan syphilis. Manusia sebagai reservoar dapat menjadi kasus yang aktif dan carrier.

Carrier

Carrier adalah orang yang mempunyai bibit penyakit didalam tubuhnya tanpa menunjukkan adanya gejala penyakit tetapi orang tersebut dapat menularkan penyakitnya kepada orang lain. Convalescant carriers adalah orang yang masih mengandung bibit penyakit setelah sembuh dari suatu penyakit.

Carriers adalah sangat penting dalam epidemiologi penyakit-penyakit polio, typhoid, meningococal meningitis dan amoebiasis. Hal ini disebabkan karena :
a. Jumlah (banyaknya carriers jauh lebih banyak daripada orang yang sakitnya
sendiri).
b. Carriers maupun orang yang ditulari sama sekali tidak tahu bahwa mereka
menderita / kena penyakit.
c. Carriers tidak menurunkan kesehatannya karena masih dapat melakukan
pekerjaan sehari-hari.
d. Carriers mungkin sebagai sumber infeksi untuk jangka waktu yang relatif lama.

Reservoar pada Binatang

Penyakit-penyakit yang mempunyai reservoar pada binatang pada umumnya adalah penyakit zoonosis. Zoonosis adalah penyakit pada binatang vertebrata yang dapat menular pada manusia. Penularan penyakit-penyakit pada binatang ini melalui berbagai cara, yakni :
a. Orang makan daging binatang yang menderita penyakit, misalnya cacing pita.
b. Melalui gigitan binatang sebagai vektornya, misalnya pes melalui pinjal tikus,
malaria, filariasis, demam berdarah melalui gigitan nyamuk.
c. Binatang penderita penyakit langsung menggigit orang misalnya rabies.

Benda-Benda Mati sebagai Reservoar

Penyakit-penyakit yang mempunyai reservoar pada benda-benda mati pada dasarnya adalah saprofit hidup dalam tanah. Pada umumnya bibit penyakit ini berkembang biak pada lingkungan yang cocok untuknya. Oleh karena itu bila terjadi perubahan temperatur atau kelembaban dari kondisi dimana ia dapat hidup maka ia berkembang biak dan siap infektif. Contoh clostridium tetani penyebab tetanus, C. botulinum penyebab keracunan makanan dan sebagainya.

2.2 Sumber Infeksi dan Penyebaran Penyakit

Yang dimaksud sumber infeksi adalah semua benda termasuk orang atau binatang yang dapat melewatkan / menyebabkan penyakit pada orang. Sumber penyakit ini mencakup juga reservoar seperti telah dijelaskan sebelumnya.

Macam-Macam Penularan (Mode of Transmission)

Mode penularan adalah suatu mekanisme dimana agen / penyebab penyakit tersebut ditularkan dari orang ke orang lain atau dari reservoar kepada induk semang baru. Penularan ini melalui berbagai cara antara lain :

2.2.1 Kontak (Contact)

Kontak disini dapat terjadi kontak langsung maupun kontak tidak langsung melalui benda-benda yang terkontaminasi. Penyakit-penyakit yang ditularkan melalui kontak langsung ini pada umumnya terjadi pada masyarakat yang hidup berjubel. Oleh karena itu lebih cenderung terjadi di kota daripada di desa yang penduduknya masih jarang.

2.2.2 Inhalasi (Inhalation)

Yaitu penularan melalui udara / pernapasan. Oleh karena itu ventilasi rumah yang kurang, berjejalan (over crowding) dan tempat-tempat umum adalah faktor yang sangat penting didalam epidemiologi penyakit ini. Penyakit yang ditularkan melalui udara ini sering disebut air borne infection (penyakit yang ditularkan melalui udara).

2.2.3 Infeksi

Penularan melalui tangan, makanan dan minuman.

2.2.4 Penetrasi pada Kulit

Hal ini dapat langsung oleh organisme itu sendiri. Penetrasi pada kulit misalnya cacing tambang, melalui gigitan vektor misalnya malaria atau melalui luka, misalnya tetanus.

2.2.5 Infeksi Melalui Plasenta

Yakni infeksi yang diperoleh melalui plasenta dari ibu penderita penyakit pada waktu mengandung, misalnya syphilis dan toxoplasmosis.

2.3 Faktor Induk Semang (Host)

Terjadinya suatu penyakit (infeksi) pada seseorang ditentukan pula oleh faktor-faktor yang ada pada induk semang itu sendiri. Dengan perkataan lain penyakit-penyakit dapat terjadi pada seseorang tergantung / ditentukan oleh kekebalan / resistensi orang yang bersangkutan.

2.4 Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular

Untuk pencegahan dan penanggulangan ini ada 3 pendekatan atau cara yang dapat dilakukan :

2.4.1 Eliminasi Reservoir (Sumber Penyakit)

Eliminasi reservoir manusia sebagai sumber penyebaran penyakit dapat dilakukan dengan :
a. Mengisolasi penderita (pasien), yaitu menempatkan pasien di tempat yang
khusus untuk mengurangi kontak dengan orang lain.
b. Karantina adalah membatasi ruang gerak penderita dan menempatkannya
bersama-sama penderita lain yang sejenis pada tempat yang khusus didesain
untuk itu. Biasanya dalam waktu yang lama, misalnya karantina untuk penderita
kusta.

2.4.2 Memutus Mata Rantai Penularan

Meningkatkan sanitasi lingkungan dan higiene perorangan adalah merupakan usaha yang penting untuk memutus hubungan atau mata rantai penularan penyakit menular.

2.4.3 Melindungi Orang-Orang (Kelompok) yang Rentan

Bayi dan anak balita adalah merupakan kelompok usia yang rentan terhadap penyakit menular. Kelompok usia yang rentan ini perlu lindungan khusus (specific protection) dengan imunisasi baik imunisasi aktif maupun pasif. Obat-obat profilaksis tertentu juga dapat mencegah penyakit malaria, meningitis dan disentri baksilus.

Pada anak usia muda, gizi yang kurang akan menyebabkan kerentanan pada anak tersebut. Oleh sebab itu, meningkatkan gizi anak adalah juga merupakan usaha pencegahan penyakit infeksi pada anak.

Sumber :

Prof. Dr. Soekidjo Notoatmodjo. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Cet. ke-2, Mei. Jakarta : Rineka Cipta. 2003.

Rabu, 29 April 2009

Kejadian Luar Biasa

Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah salah satu status yang diterapkan di Indonesia untuk mengklasifikasikan peristiwa merebaknya suatu wabah penyakit.

Status Kejadian Luar Biasa diatur oleh Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 949/MENKES/SK/VII/2004. Kejadian Luar Biasa dijelaskan sebagai timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu.

Kriteria tentang Kejadian Luar Biasa mengacu pada Keputusan Dirjen PPM-PL Depkes RI No. 451/91, tentang Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa. Menurut aturan itu, suatu kejadian dinyatakan luar biasa jika ada unsur:

  • Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal
  • Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus-menerus selama 3 kurun waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu)
  • Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun).
  • Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya.

Pengertian Wabah, Epidemi, Pandemi.

Wabah adalah istilah umum untuk menyebut kejadian tersebarnya penyakit pada daerah yang luas dan pada banyak orang, maupun untuk menyebut penyakit yang menyebar tersebut. Wabah dipelajari dalam epidemiologi.

Dalam epidemiologi, epidemi (dari bahasa Yunani epi- pada + demos rakyat) adalah penyakit yang timbul sebagai kasus baru pada suatu populasi tertentu manusia, dalam suatu periode waktu tertentu, dengan laju yang melampaui laju "ekspektasi" (dugaan), yang didasarkan pada pengalaman mutakhir. Dengan kata lain, epidemi adalah wabah yang terjadi secara lebih cepat daripada yang diduga. Jumlah kasus baru penyakit di dalam suatu populasi dalam periode waktu tertentu disebut incidence rate (bahasa Inggris; "laju timbulnya penyakit").

Dalam peraturan yang berlaku di Indonesia, pengertian wabah dapat dikatakan sama dengan epidemi, yaitu "berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi ... keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka" (UU 4/1984).

Suatu wabah dapat terbatas pada lingkup kecil tertentu (disebut outbreak, yaitu serangan penyakit), lingkup yang lebih luas ("epidemi") atau bahkan lingkup global (pandemi).

Penyakit-yang-umum yang terjadi pada laju yang konstan namun cukup tinggi pada suatu populasi disebut sebagai endemik. Contoh penyakit endemik adalah malaria di sebagian Afrika (misalnya, Liberia). Di tempat seperti itu, sebagian besar populasinya diduga terjangkit malaria pada suatu waktu dalam masa hidupnya.

Contoh wabah yang cukup dikenal termasuk wabah pes yang terjadi di Eropa pada zaman pertengahan yang dikenal sebagai the Black Death ("kematian hitam"), pandemi influensa besar yang terjadi pada akhir Perang Dunia I, dan epidemi AIDS dewasa ini, yang oleh sekalangan pihak juga dianggap sebagai pandemi.

Jenis-jenis epidemi

Penentuan suatu kejadian sebagai epidemi dapatlah bersifat subjektif, sebagian bergantung pada hal-hal apa yang termasuk dalam "ekspektasi". Karena didasarkan pada "ekspektasi" atau yang dianggap normal, beberapa kasus timbulnya penyakit-yang-sangat-jarang seperti rabies dapat digolongkan sebagai "epidemi", sementara banyak kasus timbulnya penyakit-yang-umum (seperti pilek) tidak digolongkan sebagai epidemi.

Epidemi digolongkan dalam berbagai jenis berdasarkan pada asal-muasal dan pola penyebarannya. Epidemi dapat melibatkan paparan tunggal (sekali), paparan berkali-kali, maupun paparan terus-menerus terhadap penyebab penyakitnya. Penyakit yang terlibat dapat disebarkan oleh vektor biologis, dari orang ke orang, ataupun dari sumber yang sama seperti air yang cemar.

Endemi

Suatu infeksi dikatakan sebagai endemik (dari bahasa Yunani en- di dalam + demos rakyat) pada suatu populasi jika infeksi tersebut berlangsung di dalam populasi tersebut tanpa adanya pengaruh dari luar.

Suatu infeksi penyakit dikatakan sebagai endemik bila setiap orang yang terinfeksi penyakit tersebut menularkannya kepada tepat satu orang lain (secara rata-rata). Bila infeksi tersebut tidak lenyap dan jumlah orang yang terinfeksi tidak bertambah secara eksponensial, suatu infeksi dikatakan berada dalam keadaan tunak endemik (endemic steady state). Suatu infeksi yang dimulai sebagai suatu epidemi pada akhirnya akan lenyap atau mencapai keadaan tunak endemik, bergantung pada sejumlah faktor, termasuk virulensi dan cara penularan penyakit bersangkutan.

Dalam bahasa percakapan, penyakit endemik sering diartikan sebagai suatu penyakit yang ditemukan pada daerah tertentu. Sebagai contoh, AIDS sering dikatakan "endemik" di Afrika walaupun kasus AIDS di Afrika masih terus meningkat (sehingga tidak dalam keadaan tunak endemik). Lebih tepat untuk menyebut kasus AIDS di Afrika sebagai suatu epidemi.

Pandemi

Suatu pandemi (dari bahasa Yunani pan semua + demos rakyat) atau epidemi global atau wabah global merupakan terjangkitnya penyakit menular pada banyak orang dalam daerah geografi yang luas.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), suatu pandemi dikatakan terjadi bila ketiga syarat berikut telah terpenuhi:

  • timbulnya penyakit bersangkutan merupakan suatu hal baru pada populasi bersangkutan,
  • agen penyebab penyakit menginfeksi manusia dan menyebabkan sakit serius,
  • agen penyebab penyakit menyebar dengan mudah dan berkelanjutan pada manusia.

Suatu penyakit atau keadaan tidak dapat dikatakan sebagai pandemi hanya karena menewaskan banyak orang. Sebagai contoh, kelas penyakit yang dikenal sebagai kanker menimbulkan angka kematian yang tinggi namun tidak digolongkan sebagai pandemi karena tidak ditularkan.

Wabah dalam sejarah

Dalam sejarah manusia, telah terjadi banyak wabah besar atau pandemi yang cukup signifikan. Penyakit dalam wabah-wabah tersebut biasanya merupakan penyakit yang ditularkan hewan (zoonosis) yang terjadi bersama dengan domestikasi hewan—seperti influensa dan tuberkulosa. Berikut ini adalah beberapa contoh wabah besar yang pernah tercatat dalam sejarah:

  • Pes
    • Plague of Justinian ("wabah Justinian"), dimulai tahun 541, merupakan wabah pes bubonik yang pertama tercatat dalam sejarah. Wabah ini dimulai di Mesir dan merebak sampai Konstantinopel pada musim semi tahun berikutnya, serta (menurut catatan Procopius dari Bizantium) pada puncaknya menewaskan 10.000 orang setiap hari dan mungkin 40 persen dari penduduk kota tersebut. Wabah tersebut terus berlanjut dan memakan korban sampai seperempat populasi manusia di Mediterania timur.
    • The Black Death, dimulai tahun 1300-an. Delapan abad setelah wabah terakhir, pes bubonik merebak kembali di Eropa. Setelah mulai berjangkit di Asia, wabah tersebut mencapai Mediterania dan Eropa barat pada tahun 1348 (mungkin oleh para pedagang Italia yang mengungsi dari perang di Crimea), dan menewaskan dua puluh juta orang Eropa dalam waktu enam tahun, yaitu seperempat dari seluruh populasi atau bahkan sampai separuh populasi di daerah perkotaan yang paling parah dijangkiti.
  • Kolera
    • pandemi pertama, 18161826. Pada mulanya wabah ini terbatas pada daerah anak benua India, dimulai di Bengal, dan menyebar ke luar India pada tahun 1820. Penyebarannya sampai ke Republik Rakyat Cina dan Laut Kaspia sebelum akhirnya berkurang.
    • Pandemi kedua (1829–1851) mencapai Eropa, London pada tahun 1832, Ontario Kanada dan New York pada tahun yang sama, dan pesisir Pasifik Amerika Utara pada tahun 1834.
    • Pandemi ketiga (1852–1860) terutama menyerang Rusia, memakan korban lebih dari sejuta jiwa.
    • Pandemi keempat (1863–1875) menyebar terutama di Eropa dan Afrika.
    • Pandemi keenam (1899–1923) sedikit mempengaruhi Eropa karena kemajuan kesehatan masyarakat, namun Rusia kembali terserang secara parah.
    • Pandemi ketujuh dimulai di Indonesia pada tahun 1961, disebut "kolera El Tor" (atau "Eltor") sesuai dengan nama galur bakteri penyebabnya, dan mencapai Bangladesh pada tahun 1963, India pada tahun 1964, dan Uni Soviet pada tahun 1966.
  • Influensa
    • "Flu Asiatik", 1889–1890. Dilaporkan pertama kali pada bulan Mei 1889 di Bukhara, Rusia. Pada bulan Oktober, wabah tersebut merebak sampai Tomsk dan daerah Kaukasus. Wabah ini dengan cepat menyebar ke barat dan menyerang Amerika Utara pada bulan Desember 1889, Amerika Selatan pada Februari–April 1890, India pada Februari–Maret 1890, dan Australia pada Maret–April 1890. Wabah ini diduga disebabkan oleh virus flu tipe H2N8 dan mempunyai laju serangan dan laju mortalitas yang sangat tinggi.
    • "Flu Spanyol", 1918–1919. Pertama kali diidentifikasi awal Maret 1918 di basis pelatihan militer AS di Fort Riley, Kansas, pada bulan Oktober 1918 wabah ini sudah menyebar menjadi pandemi di semua benua. Wabah ini sangat mematikan dan sangat cepat menyebar (pada bulan Mei 1918 di Spanyol, delapan juta orang terinfeksi wabah ini), berhenti hampir secepat mulainya, dan baru benar-benar berakhir dalam waktu 18 bulan. Dalam enam bulan, 25 juta orang tewas; diperkirakan bahwa jumlah total korban jiwa di seluruh dunia sebanyak dua kali angka tersebut. Diperkirakan 17 juta jiwa tewas di India, 500.000 di Amerika Serikat dan 200.000 di Inggris. Virus penyebab wabah tersebut baru-baru ini diselidiki di Centers for Disease Control and Prevention, AS, dengan meneliti jenazah yang terawetkan di lapisan es (permafrost) Alaska. Virus tersebut diidentifikasikan sebagai tipe H1N1.
    • "Flu Asia", 1957–1958. Wabah ini pertama kali diidentifikasi di Tiongkok pada awal Februari 1957, kemudian menyebar ke seluruh dunia pada tahun yang sama. Wabah tersebut merupakan flu burung yang disebabkan oleh virus flu tipe H2N2 dan memakan korban sebanyak satu sampai empat juta orang.
    • "Flu Hong Kong", 1968–1969. Virus tipe H3N2 yang menyebabkan wabah ini dideteksi pertama kali di Hongkong pada awal 1968. Perkiraan jumlah korban adalah antara 750.000 dan dua juta jiwa di seluruh dunia.

Kekhawatiran akan terjadinya wabah global baru

Penyakit-penyakit yang mungkin dapat menjangkit secara pandemik mencakup di antaranya demam Lassa, demam Rift Valley, virus Marburg, virus Ebola dan Bolivian hemorrhagic fever. Namun demikian, sampai dengan tahun 2004, kemunculan penyakit-penyakit tersebut pada populasi manusia sangatlah virulen sampai-sampai tidak tersisa lagi dan hanya terjadi di daerah geografis terbatas. Dengan demikian, saat ini penyakit-penyakit tersebut berdampak terbatas bagi manusia.

HIVvirus penyebab AIDS—dapat dianggap sebagai suatu pandemi, namun saat ini paling meluas di Afrika bagian selatan dan timur. Virus tersebut ditemukan terbatas pada sebagian kecil populasi pada negara-negara lain, dan menyebar dengan lambat di negara-negara tersebut. Pandemi yang dikhawatirkan dapat benar-benar berbahaya adalah pandemi yang mirip dengan HIV, yaitu penyakit yang terus-menerus berevolusi.

Pada tahun 2003, terdapat kekhawatiran bahwa SARS, suatu bentuk baru pneumonia yang sangat menular, dapat menjadi suatu pandemi.

Selain itu, terdapat catatan pandemi influensa tiap 20–40 tahun dengan tingkat keparahan berbeda-beda. Pada Februari 2004, virus flu burung dideteksi pada babi di Vietnam, sehingga meningkatkan kekhawatiran akan munculnya galur virus baru. Yang ditakutkan adalah bahwa jika virus flu burung bergabung dengan virus flu manusia (yang terdapat pada babi maupun manusia), subtipe virus baru yang terbentuk akan sangat menular dan mematikan pada manusia. Subtipe virus semacam itu dapat menyebabkan wabah global influensa yang serupa dengan flu Spanyol ataupun pandemi lebih kecil seperti flu Hong Kong.

Antara Oktober 2004 dan Februari 2005, sekitar 3.700 perangkat uji yang mengandung virus penyebab Flu Asia 1957 tanpa sengaja terkirim ke seluruh dunia dari sebuah laboratorium di Amerika Serikat [1].

Pada bulan November 2004, direktur WHO daerah barat menyatakan bahwa pandemi influensa tak dapat dihindari dan mendesak dibuatnya rancangan untuk mengatasi virus influensa.

Pada bulan Oktober 2005, kasus flu burung (dari galur mematikan H5N1) ditemukan di Turki setelah memakan sejumlah korban jiwa di berbagai negara (termasuk Indonesia) sejak pertama kali diidentifikasi pada tahun 2003. Namun demikian, pada akhir Oktober 2005 hanya 67 orang meninggal akibat H5N1; hal ini tidak serupa dengan pandemi-pandemi influensa yang pernah terjadi.